Wajar, kakak-adik bertengkar. Baru didamaikan, eh, sebentar kemudian sudah “ramai” lagi. Anda tak dapat menghindarkannya. Tapi, mengapa mereka bertengkar? Bagaimana mengatasinya? “Enggak boleh! Ini punyaku!” teriak si kakak sambil merebut kembali mobil-mobilan yang diambil adiknya. Tapi si adik tak mau kalah. Ia balik merebut mobil-mobilan itu. Jadilah mereka saling rebut sambil berteriak-teriak. Si kakak yang jengkel, akhirnya memukul sang adik. Menangislah ia.
Kali lain, si kakak yang bikin gara-gara. Adiknya yang sedang asyik bermain sendirian, tiba-tiba dijahili. Entah bonekanya diambil, ikat rambutnya dilepas, atau hanya sekadar diledek. Si adik yang merasa terusik, lantas marah, berteriak-teriak. Si kakak bukannya berhenti “menggoda” sang adik, malah makin senang. Ia baru berhenti setelah si adik menangis atau ibu “turun tangan”.
Kejadian seperti itu mungkin sudah menjadi “santapan harian” para orang tua dari anak-anak balita. Entah si adik atau si kakak yang bikin gara-gara duluan. Tak jarang kita dibikin jengkel dan putus asa menghadapi anak-anak yang seolah tak berhenti bertengkar. Akibatnya, kala anak-anak bertengkar, kita biasanya akan langsung membentak, meminta mereka segera menghentikan pertengkaran, memarahi, dan bahkan menghukum.
BELAJAR MENGUNGKAPKAN EMOSI
“Tak usah panik kala anak-anak bertengkar. Bila kita panik, mereka justru akan merasa disalahkan terus, merasa bahwa berkelahi itu ‘haram’ di rumah. Karena biasanya orang tua yang panik lalu memarahi dan menghukum,” kata Johanna Rosalina yang biasa dipanggil Rosa, dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta.
Lo, kok? Hal ini lantaran Rosa melihat pertengkaran antar-anak tak selalu berdampak negatif. Lewat pertengkaran, katanya, anak-anak belajar mengungkapkan emosi mereka. “Misalnya berdebat. Karena bertengkar, kan, enggak harus adu fisik. Nah, lewat berdebat, mereka belajar mengungkapkan pendapat dan emosinya,” terang Rosa.
Perkelahian atau pertengkaran, menurutnya, adalah akibat. Karena itu yang harus disoroti bukanlah pertengkarannya tapi bagaimana setiap anak mengungkapkan emosinya. “Anak-anak yang tak berani bertengkar, mungkin tak berani mengungkapkan kemarahan atau kejengkelannya. Biasanya emosi mereka akan datar, tidak peka, kurang sensitif,” kata Rosa.
Kendati demikian, tak berarti Rosa setuju bahwa setiap konflik harus selalu berkelanjutan dalam perkelahian. Apalagi jika mereka sampai adu fisik, itu harus dihindari. Karena, kalau kita membiasakan anak adu pendapat sampai akhirnya adu fisik, maka yang terjadi adalah mereka tak dapat mengontrol emosinya. Tapi, apa sebenarnya yang membuat anak-anak bertengkar?
SI KAKAK CARI PERHATIAN
Menurut Rosa, kehadiran adik umumnya dianggap sebagai saingan oleh sang kakak. Apalagi jika si kakak tak disiapkan betul untuk menyambut kedatangan sang adik sejak si adik masih di kandungan.
Harus dipahami, jelas Rosa, “Pada usia prasekolah, anak sedang berada dalam satu kondisi yang selalu bertentangan dengan lingkungan. Istilah psikologinya, negativism.” Di sisi lain, ia pun sedang dalam masa selalu ingin menarik perhatian orang tua. Sehingga, jika ibu/ayah mengatakan, “Kamu harus sayang sama adik,” si kakak mungkin akan mengatakan, “Ya.” Tapi ia juga akan mengatakan, “Tidak,” karena ia ingin menarik perhatian ibu/ayahnya. Jadi biasanya yang terjadi pada si kakak, “Saya akan melakukan apa yang saya suka.” Maka, diganggulah si adik, semata untuk mendapatkan perhatian ibu/ayahnya.
Selain itu, si kakak pernah menjadi anak tunggal untuk beberapa waktu sebelum adiknya lahir. Ia belum mengerti bahwa kasih sayang dan perhatian ayah/ibunya kepada dirinya tak berubah, meski sekarang sudah ada adik. Yang ia lihat, ayah/ibunya sekarang sudah tak lagi sepenuhnya memperhatikan dirinya. Nah, apa yang dapat ia lakukan untuk mendapatkan kembali perhatian tersebut? Ya, dengan cara mengganggu adiknya.
“Sebenarnya si kakak mengganggu itu bukan untuk menyakiti adiknya, tapi hanya untuk mengalihkan perhatian orang tua atau orang dewasa lain yang kebetulan atensinya sedang pada si adik,” terang Rosa. Tapi jika caranya ini berhasil, maka lama-lama akan menjadi suatu kebiasaan. Sebaliknya, jika tak berhasil, misalnya ibu/ayah menjadi marah, maka si kakak akan berusaha menarik perhatian lagi. “Begitu seterusnya seperti lingkaran yang tak berkesudahan,” tambahnya.
SI ADIK SUKA “MERUSAK”
Bagaimana dengan si adik? Harus disadari, si adik yang masih usia batita memang suka sekali “bikin masalah”. Ia kerap menjatuhkan balok-balok kayu yang sudah disusun menjadi satu bangunan istana oleh kakaknya, menarik-narik tangan dan kaki boneka milik kakaknya hingga copot, atau bahkan merobek-robek buku “pelajaran” si kakak.
Hal ini lantaran si batita sedang berada dalam tahap eksplorasi. Ia tengah mempelajari dunianya, mengembangkan rasa ingin tahunya dengan terus-menerus mencobai lingkungannya. Ia pun belum mengerti sepenuhnya arti kepemilikan, sehingga seringkali ia “merusak” apa saja yang menarik perhatian, merebut apa saja yang sedang dipegang atau dimainkan oleh kakaknya. Tak heran jika akhirnya Anda harus menghadapi pertengkaran demi pertengkaran antara si kakak dan adiknya. Lantas, bagaimana kita harus bersikap?
MEMBELA SI ADIK
Umumnya orang tua akan memihak dan melindungi anak yang lebih muda. “Kamu ini, kan, kakaknya. Mbok, mengalah. Adikmu masih kecil, belum mengerti apa-apa.” Atau, “Jangan pukul adikmu! Dia, kan, masih kecil. Biarkan dia main dengan mobil-mobilanmu. Nanti kalau adikmu sudah selesai main, baru kamu boleh memainkannya.”
Sikap orang tua yang demikian, menurut Rosa, tak bisa dilepaskan dari peran kultur/budaya. Bahwa anak sulung atau si kakak diharapkan menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya. Sebaliknya si adik, karena ia lebih kecil, maka ia dianggap lebih lemah. “Kepada si adik, biasanya ditanamkan ia harus menurut pada kakaknya. Tidak apa-apa kalau kamu enggak bisa bertanggungjawab karena kamu lebih kecil,” kata Rosa.
Bagi si kakak yang harus menjadi contoh, menurut Rosa, akan berat sekali. Apalagi usianya masih balita. Ia akan merasa, kenapa saya yang selalu diharapkan sementara si adik tidak? Jika hal itu terus ditanamkan, Rosa khawatir, “Si kakak kelak akan berkembang menjadi anak yang selalu menyalahkan diri sendiri dan kurang percaya diri.”
Sementara si adik, menurut Rosa, akan menjadi anak yang selalu tergantung dan kurang bertanggungjawab. “Ia akan mudah melepas tanggungjawabnya kepada orang lain. Ia pun menjadi kurang percaya diri dalam arti kalau dia mengambil keputusan dia akan tunggu Mama dulu tunggu kakak dulu. Padahal yang sebenarnya, setiap anak harus punya kapasitas untuk memutuskan persoalan sendiri,” terang Sarjana Pendidikan dari IKIP Jakarta ini.
Begitu pun dengan sikap yang memandang anak lelaki harus mengalah dari anak perempuan karena anak lelaki lebih kuat sementara anak perempuan lebih lemah. “Padahal, kan, tidak selalu begitu. Adakalanya si anak lelaki tidak kuat, dan anak perempuan pun tidak selalu lemah,” sambung Rosa. Akibatnya pada si anak prempuan, bukan tidak mungkin ia lantas jadi memanfaatkan saudaranya yang lelaki. Kalau ada apa-apa, ia akan mengatakan, “Kamu, kan, anak lelaki. Bantuin saya, dong.” Dia akan selalu meminta perlindungan.
DUA-DUANYA DIBERI PENGERTIAN
Mendesak si kakak untuk mengalah, juga hanya akan membuatnya merasa yakin, bahwa Anda lebih menyayangi adiknya. Yang lebih buruk lagi,tanpa disadari, Anda melatih si kakak untuk bersikap pasif dengan selalu menurut dan mengalah pada adiknya. Ini tentu tak baik untuk perkembangan si kakak. Karena akhirnya nanti, ia bisa bersikap seperti itu pula pada setiap anak atau siapapun yang melaksanakan kehendak kepadanya. Sungguh celaka, bukan? Sementara si adik yang dibela, akan belajar bahwa ia boleh merebut apa saja yang dikehendakinya kala ia menginginkannya. Ingat, si adik yang masih kecil belum memiliki pemahaman akan perbedaan antara “milikku” dan “milikku” atau “miliknya”. Ia akan lambat mempelajari konsep kepemilikan selama Anda membiarkan ia merebut mainan atau benda apa saja dari kakaknya.
Harus diingat pula, si kakak, yang meski sudah lebih besar dari si adik, tapi ia tetap masih seorang anak kecil. Ia tak mengerti bahwa adiknya belum punya pemahaman tentang konsep kepemilikan. Karena itu, meski si kakak lebih besar, ia pun perlu dilindungi dari agresi adiknya yang sewenang-wenang.
Jadi, bukan hanya si kakak yang harus diberi pengertian, tapi juga si adik. Kendati si adik usianya masih sangat belia semisal 1-2 tahun. Cara yang efektif, menurut Rosa, dengan menyampaikan “I message” atau “pesan aku”. Misalnya, “Mama sedih karena kamu merobek-robek buku gambar kakakmu.” Si kakak pun bisa diajarkan untuk mengungkapkan perasaannya kepada sang adik. “Kita jangan underestimate pada anak yang lebih muda. Dia mampu, kok, untuk mengambil tanggungjawab bahwa kakaknya itu kecewa, bahwa dia yang menjadi sumbernya,” tutur Rosa.
JANGAN CARI SIAPA YANG SALAH
Rosa minta orang tua agar bersikap obyektif dalam menghadapi anak-anaknya yang bertengkar. “Orang tua memang harus merelai dan mendamaikan kedua anaknya yang bertengkar. Tapi bukan dengan bertindak sebagai hakim, yaitu mencari siapa yang salah. Nah, pengadilan kecil di rumah adalah bagaimana mengeluarkan pendapat tanpa emosi. Idealnya kita mendengarkan kedua belah pihak agar kita juga belajar memberikan keadilan pada anak-anak,” terangnya.
Rosa menyadari, tak mudah untuk menjadi penengah yang adil dan bijaksana. Ini lantaran pengaruh subyektifitas orang tua. “Kalau sudah punya dua anak, biasanya si ayah punya anak favorit dan si ibu pun demikian. Misalnya si ibu favoritnya sama si sulung sementara si ayah pada si bungsu. Meski begitu, yang paling baik adalah ayah dan ibu tetap berimbang dalam memberikan peradilan pada kedua anaknya,” tutur ibu dua anak ini.
Setelah kedua anak didamaikan, yang perlu dilakukan orang tua ialah mengajak mereka untuk saling minta maaf. “Biasanya ini enggak mudah. Karena kita sendiri tak mudah untuk minta maaf pada orang lain, pada anak. Apalagi untuk mengajarkan hal tersebut pada dua anak yang sedang mengalami kemarahan,” katanya.
Tapi, toh, mereka tetap harus diajarkan. Karena lewat permintaan maaf, si kecil pun belajar bertanggungjawab. “Nah, kalau salah satu dari mereka bisa belajar untuk minta maaf duluan, entah si kakak atau adiknya, maka kita wajib memberinya penghargaan. Beri dia pujian,” kata Rosa.
MAINAN/BARANG YANG SAMA
Hal lain yang bisa dilakukan orang tua ialah mencegah terjadinya pertengkaran, jika sumber penyebabnya sudah diketahui hal yang sama terus. Misalnya, selalu berebut mainan atau sesuatu barang. “Mungkin orang tua bisa membelikan masing-masing sebuah mainan atau barang yang sama. Jika harganya memang tak mahal atau orang tua memang punya uang, kenapa tidak?” kata Rosa.
Tapi dalam hal ini, sambungnya, orang tua harus bisa bersikap fleksibel. Karena dengan masing-masing memiliki satu mainan/barang yang sama, berarti kita tak mengajarkannya untuk berbagi. Sebaliknya, jika semua mainan/barang menjadi milik bersama, kita tak mengajarkannya untuk bertanggungjawab. Karena kalau mainan/barang itu rusak, masing-masing bisa mengelak, “Itu bukan punya saya, kok.”
Jadi, tukas Rosa, “Orang tualah yang musti fleksibel. Kapan si anak harus berbagi dan kapan si anak harus punya privacy.” Yang paling baik mungkin dengan menandai mainan/barang yang dibeli untuk setiap anak. Misalnya, warna merah dibubuhkan untuk menandai mainan/barang si kakak dan warna kuning untuk mainan/barang milik adik. Semua mainan/barang itu disimpan di kotak/keranjang yang juga ditandai dengan warna merah dan kuning.
Jika terjadi pertengkaran antara si kakak dan si adik tentang siapa yang akan bermain dengan mainan yang mana, Anda bisa cepat mengatasinya dengan menunjukkan warna yang menandai mainan mereka. Misalnya dengan mengatakan, “Ini merah, jadi ini milik kakak.” Jika si adik ngotot, maka si kakak bisa diberi pengertian untuk belajar berbagi kepada sang adik tapi bukan memintanya untuk mengalah. Bila si kakak menolak, ingatlah Anda tak berhak memaksanya. Toh, dengan perjalanan waktu, baik si kakak maupun si adik akan memahami arti berbagi. Asal Anda tak bosan untuk terus mengajari mereka.
Sumber : http://nanangkoe.blogspot.com/
Posting Komentar